Sebagian umat Islam ada yang meragukan
kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para
pakar Islam? Apa pendapat para ulama mengenai trading forex,
trading saham, trading index, saham, dan komoditi? Apakah Hukum Forex
Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam? Mari kita ikuti selengkapnya.
Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.
Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih
Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap
praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram.
Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam
sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan
perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang
terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang
terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab
Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak
ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat,
larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat
larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa
barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan
tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr.
Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn
al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang
diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang
menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal
tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya
tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga
bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya,
kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak
mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan
garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang
dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat
dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi
yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa
penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik
jua-beli konvensional.
Dalam perspektif hukum Islam,
Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK)
dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau
masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya
dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi
ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah
hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum
al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa
al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan
Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian,
kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya
melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat
merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim
al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa
variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat.
Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari
gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi
al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan
empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus
masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah
maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk
kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan
dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan
berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam
rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan
berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan
manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977
tentang PBK.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai
berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni
memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang
terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s
al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada
penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli
yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga
jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:
a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
- Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
- Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
- Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).